Saturday, November 26, 2011

Keris

26 November 2011 

Hari Sabtu. 
Orang Jawa bilang ini malam 1 Suro, malam tahun baru Jawa. 
Orang muslim bilang ini malam tahun baru Hijriyah. 

Sendirian di kamar menerima beberapa ucapan tahun baru lewat sms, via FB chatting ataupun YM. 
Ada beberapa hal yang lekat di benakku saat memikirkan ini malam Suro. 

Karena dibesarkan di lingkungan Jawa yang cukup kental, malam Suro selalu penuh kesan mistis. Kakung dan Mbah Putri, bapak ibu, serta tetangga selalu mengingatkan untuk tidak beraktifitas sepanjang hari. Di pasar, penjual dan pembeli sepi. Kalau ada yang sedang membangun rumah, pasti tukangnya libur. Sebisa mungkin tidak bepergian kemana pun. Seharian di rumah saja. Sebisa mungkin tidak beraktifitas. Kalau beraktifitas, orang akan bilang 'gak ilok' alias pamali. Ketiban sial adalah harga yang harus dibayar. Seingatku, kalo malam suro jalanan pun mendadak sepi dari kendaraan. Alun-alun dan pasar mendadak senyap. 

Ada satu hal yang mendadak membuatku kangen dengan malam 1 Suro. Aroma pencucian keris.
Dulu, aku tak pernah melewatkan ritual itu. Bapak punya satu 'gaman' (senjata) berupa keris, warisan dari Kung (kakek, red). Kecil ukurannya, tanpa 'warangka' (sarung), tanpa pegangan. Dimasukkan di dalam kantung berwarna putih dengan aroma melati yang kental. Diletakkan di dalam lemari. Kalau mau buka lemari itu, pasti rasanya menakutkan. Si 'gaman' tidak akan keluar dari sarungnya sebelum Suro. Suro adalah waktu untuk mencucinya. Sebenarnya apa sih istimewanya si keris? 
 

Menurut Wikipedia   
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah.

pamor keris
Ada yang bilang juga kalo sebenarnya sebilah keris adalah senjata khusus yang dibuat sepenuhnya hanya untuk nilai mistis dan spiritual. Pembuatan keris membutuhkan waktu yang lama dan ritual yang tidak sederhana, mulai dari peleburan logamnya sampai ke tahap 'pemasukan' jin kedalam si keris. Si empu harus sakti dan tirakat. Setiap keris memiliki 'nyawa' dan kekuatan yang berbeda, tergantung dari kekuatan Jin yang menghuninya. Keris yang bertuah. Keris biasanya diturunkan dari generasi ke generasi dan diberi 'makan' sehingga kekuatannya pun bertambah. Makan apa? Bau wangi-wangian? Kemenyan? Melati? mmm... saya kurang tahu pasti. Nah, bagaimana dengan Keris Empu Gandring yang dikutuk untuk 'memakan' 7 turunan. Keris sakti mandraguna yang menandai sejarah berdirinya kerajaan Singasari. Saya tidak berani berspekulasi... hehehe...
Kembali ke 'bau' yang saya rindukan... Waktu kecil, ada satu hari dimana teras rumah akan menjadi arena tontonan tetangga sekitar. Pada Bulan Suro di saat bapak tua mulai menyandarkan sepeda tua hitamnya di pohon mangga ato pohon jambu depan rumah. Setelah menyapa Ibu atau Bapak, beliaupun lantas mengurai tali-tali rafia pengikat sepotong kayu yang telah dibentuk seperti perahu, ember, jirigen, dan tas besar berisi peralatan yang lain. Dia mengisi ember dengan air dari sumur, memotong jeruk-jeruk limaunya, menuangkan air berwarna cokelat kedalam perahu kayunya, dan menanti pelanggan.
inilah yang saya bilang perahu ^^v
 Ibu dan Bapak adalah pelanggan pertama tentunya. Mbah Podho selanjutnya. Mbah Podho memiliki beberapa 'gaman'. Seingatku hanya bapak dan Mbah Podho pelanggan tetap si Bapak.

Jadi bapak itu (ah andai saja aku ingat namanya), membuka bilah keris, melepas pegangan, merendamnya dengan cairan coklat pekat itu, menggosoknya dengan limau, membasuhnya dengan air, merendamnya kembali ke dalam perahu, digosok lagi, dibilas, direndam lagi.. begitu berulang sampai semua karat hilang. Dengan rasa penasaran, akulah satu2nya anak kecil yang paling terkagum2 menyaksikan semua itu sampai saat terakhir. Sampai makanpun aku lakukan di dekatnya. tak sedikitpun aku beranjak. Ibulah yang mengantar piring itu ke pangkuanku. hehehehe.... 

Bau limau, melati.. dan cairan cokelat itu benar benar melekat di benakku. Namun, lama-lama Bapak bukanlah pelanggan setianya lagi. Bapak menjadi seorang yang jauh lebih religius sehingga tak lagi memelihara si keris. Dan si Bapak itu pun tak pernah lagi menyandarkan sepeda hitam tuanya ke pohon mangga. Mulanya mbah Podho masih menjadi pelanggan tetap. Walau Bapak tak lagi menjadi pelanggan, Bapak tetap menyediakan teras kami untuk area pencucian keris. Dan aku pun masih tetap menjadi penonton setianya.

Bertahun-tahun telah lewat. Aku tak pernah menyaksikan prosesi itu lagi. Aku sama sekali tidak ingat kapan terakhir aku terakhir melihatnya. Aku pun tak ingat siapa namanya. Aku hanya ingat si Bapak selalu memakai peci hitam. Ketika aku bilang kepada seorang teman tentang aroma itu, dia berkata 'bau seperti orang mati kok kamu kangenin. orang bilang itu bau tanah'. ah.. semakin aku merindukan bau itu... bau limau yang bercampur bau anyir karat logam...Semoga aku bisa menyaksikan prosesi itu suatu hari nanti.

Sugeng Warsa Enggal kagem sederek sedaya... 
Selamat Tahun Baru Hijriyah buat semua...